childhood memory
Ini
akan jauh dari apa yang mungkin bisa kamu kira dan bisa kamu takar seberapa
berat usaha yang harus aku jalani dengan segudang pertanyaan dan rekam memori
masa kecil yang jauh dari apa yang seharusnya aku rekam.
Sebelum
itu, aku tidak lantas menyalahkan segala usaha ibu untuk membawaku tumbuh
sampai hari ini. Hanya saja yang paling tidak aku mengerti tentang kenapa aku
harus turut menyalahkan ayah?
Ibu
selalu bilang bahwa segala masalah yang menimpanya adalah hasil dari pilihannya
menikah dengan ayah. Ibu juga selalu bilang bahwa ayah sudah jauh berubah dari
apa yang membuat ibu yakin untuk menikah dengan ayah. Segala perubahan ayah
terus ibu keluhkan saat ia mulai lelah menyuapiku makan atau saat ia jengah
menyuruhku tidur siang.
Usiaku
masih lima tahun, tetapi aku paham arti dari kalimat “Kita akan menginap di rumah nenek.” Aku paham bahwa tidak peduli
seberapa muak ibu menemani pertumbuhanku, saat ia dan ayah mulai beradu argumen,
tidak peduli siapa yang menang dan kalah, aku hanya akan selalu berakhir dengan
ibu. Meski itu bukan sesuatu yang aku mau, ibu hanya akan selalu bilang,
“Tidak masalah, nanti ayah akan
datang jemput kita berdua.”
Sekali,
hingga dua kali, ayah memang benar datang menjemput kami. Bahkan saat hujan
deras, saat ayah sendiri mengeluh sedang demam, beliau tetap datang menjemput
kami. Meminta maaf kepada nenek yang sebenarnya aku sendiri tidak paham, apakah
nenek juga turut andil?
Sampai hari itu, saat ibu kembali berkata bahwa aku dan ia harus menginap di rumah nenek. Aku tidak lagi menunggu jam empat sore hanya untuk melihat ayah akan datang menjemput aku dan ibu.
Karena meski aku telah berusia sepuluh tahun kala
itu, aku sudah paham bahwa ayah sudah berhenti menjemput kami dan segala yang
ibu sebut sebagai penderitaan saat bersama ayah, telah berakhir.
Puluhan
nasihat mulai ibu bagikan kepadaku saat usiaku beranjak belasan tahun, saat aku
mulai tahu cara mengoleskan lipstick
ke bibirku, ibu selalu saja berkata, “Laki-laki
hanya akan selalu menyusahkanmu, percayalah.” Tetapi aku hanya diam seolah
aku menelan semua nasihat itu dengan percaya.
Namun
sebenarnya tidak. Ibu hanya tidak usahaku untuk menghafal nomor telefon milik
ayah dan aku akan menelfonnya menggunakan telefon milik temanku saat jam
istirahatku di sekolah.
Diam-diam
membuat janji temu dengan ayah dan berakhir ayah hanya akan selalu bilang,
“Jangan suka melawan pada ibumu, dia
begitu hanya karena terlalu sayang denganmu.”
Ayah
hampir tidak pernah membuat ibu salah dimataku. Sudut pandang ayah akan ibu
selalu membuatku bertanya, apakah benar seluruh penderitaan yang ibu rasakan
saat bersama ayah?
Ibu
juga tidak tahu perihal aku yang masih bertanya, mengapa perpisahannya dengan
ayah selalu menjadi topik hangat saat aku terpaksa menginap di rumah nenek dan
dari itu semua mengapa mereka menyalahkan ayah?
Aku paham beberapa kali memang ayah mengingkari janjinya dan juga melupakan hari-hari penting yang sudah ibu tandai sedemikan menarik di kalender ruang tengah, tempat ayah dan ibu saling melepas cerita biasanya.
Hanya saja, aku
masih tidak paham mengapa ayah yang salah padahal aku jelas tahu bagaimana
kemarahan ibu bisa membuatku dan ayah hanya bisa diam.
Ibu
dan kemarahannya adalah perpaduan yang tidak bisa aku terima dengan baik meski
usiaku sudah ada di pertengahan dua puluhan. Dan berkat itulah, aku bahkan
tidak bisa menolak saat ibu bilang,
“Ibu akan memulai semuanya dari awal, nak.”
Tetapi
bu, aku tidak menolak bukan karena aku menerimanya. Percayalah bahwa sepanjang
usiaku, hanya ayah yang akan benar-benar aku sebut ayah, dalam hidupku.
–Eka.
x
1 comments
waww emejiiinggg🥺🥺
BalasHapus