Dering Pertama
Malam belum terlalu larut ketika aku memutuskan untuk segera menelfon sebuah nomor telfon yang sejak siang tadi aku tatap dengan semua pikiran yang berkecamuk. Dering telfon pertama belum terjawab dan aku memutuskan untuk tetap menunggu.
Aku menatap pantulan diriku di cermin, kantung mata yang tak kunjung hilang belum lagi berat badanku yang menurun drastis bulan ini. Aku seperti kehilangan semangat akhir-akhir ini.
Bagaimana tidak, baru
seminggu aku dipaksa untuk terjun di dunia pekerjaan. Segala hal yang menjadi
ekspetasiku, terpatahkan begitu saja. Tidak, bukan karena aku tidak menyukai
pekerjaan yang aku geluti saat ini. Hanya saja, aku terlalu kaget melihat dunia
pekerjaan yang sebenarnya.
“Halo?”
Aku terkejut. Sangat terkejut sampai
ponsel yang aku genggam hampir saja lepas
dari genggamanku.
Terlalu asik bergelut dengan pikiranku sendiri, sampai membuatku lupa kalau aku
sedang menunggu jawaban telfon dari seseorang.
“Eh, iya?” tuturku pelan.
“Dengan
Aruna yah?” ujar suara itu kembali terdengar. Belum sempat aku
menjawab, seseorang di seberang sana sudah lebih dulu berucap, “Yang tadi siang ngirim pesan kan?”
Mendengar pertanyaan itu, spontan aku
mengangguk. “Iya, itu benar Mas”
“Nelfon
jam segini mau ngapain?”
“Eh? Bukannya tadi katanya aku harus
nelfon yah kalau
sudah pulang kerja” tuturku polos.
Loh, memang benar kawan. Siang tadi,
saat aku megirim pesan padanya aku malah diminta untuk menelfon ketika aku pulang kerja,
katanya biar bebas ngobrol. Aku berhenti berfikir ketika aku mendengar suara
tawa dari seberang sana.
“Kamu
lucu yah” ujarnya dengan tawa yang belum juga
reda.
Sial,
sejak kapan aklu hilang kendali seperti ini saat berbicara lewat telfon. Tapi
aku tidak bisa menampik bahwa lelucon yang terdengar garing itu berhasil
membuat perasaanku sedikit lega. Tapi, memangnya aku lega karena apa?
“Ini aku manggilnya pakai
sebutan Mas aja, gapapa kan?” tanyaku sejenak.
“Kalau bukan Mas, kamu mau manggil aku pakai sebutan apa memangnya?”
“Emm, mungkin Kak?”
Spontan laki-laki itu
tertawa meski aku bingung di mana letak lucunya.
“Aku sudah cukup tua untuk jadi Kakak kamu, Aruna.” Tuturnya lugas.
“Ahh, iyaa…” sahutku final.
Setelah berbasa-basi yang
cukup hangat itu, aku langsung menanyakan apa saja yang sudah aku siapkan sejak
siang tadi kepada laki-laki yang katanya akan menjadi patner kerja samaku untuk
sebuah proyek baru.
Setelah cukup lama perdebatan alotku dengan seseorang yang aku selipkan nama, Pra, akhirnya kita berdua sepakat bertemu akhir pekan nanti.
Nama Pra ini terlintas begitu saja ketika
aku tahu dia pernah memilih tinggal di kota istimewa Jogjakarta dengan hitungan
tahun dibanding harus pulang ke kampung halamannya yang memiliki sebuah bukit
tandus yang sangat cantik.
Bukan tanpa alasan aku
memberinya nama Pra, tetapi setelah dua tahun tulisan ini berakhir menjadi sebuah
draft. Bulan ini, aku berani memperkenalkan kamu dengan khalayak, Pra.
Pra, mungkin kamu tidak akan
tahu bahwa ini perihal kamu dan semua lelucon garingmu yang benar-benar menjadi
kenangan hangat untuk selalu aku simpan, sampai hari ini. Tetap sehat yah, Pra.
Aku sungguh akan selalu mendoakanmu.
Salam Hangat,
Aruna.
–by; ekazn
0 comments