childhood memory

by - Juni 26, 2023

Ini akan jauh dari apa yang mungkin bisa kamu kira dan bisa kamu takar seberapa berat usaha yang harus aku jalani dengan segudang pertanyaan dan rekam memori masa kecil yang jauh dari apa yang seharusnya aku rekam.

Sebelum itu, aku tidak lantas menyalahkan segala usaha ibu untuk membawaku tumbuh sampai hari ini. Hanya saja yang paling tidak aku mengerti tentang kenapa aku harus turut menyalahkan ayah?

Ibu selalu bilang bahwa segala masalah yang menimpanya adalah hasil dari pilihannya menikah dengan ayah. Ibu juga selalu bilang bahwa ayah sudah jauh berubah dari apa yang membuat ibu yakin untuk menikah dengan ayah. Segala perubahan ayah terus ibu keluhkan saat ia mulai lelah menyuapiku makan atau saat ia jengah menyuruhku tidur siang.

Usiaku masih lima tahun, tetapi aku paham arti dari kalimat “Kita akan menginap di rumah nenek.” Aku paham bahwa tidak peduli seberapa muak ibu menemani pertumbuhanku, saat ia dan ayah mulai beradu argumen, tidak peduli siapa yang menang dan kalah, aku hanya akan selalu berakhir dengan ibu. Meski itu bukan sesuatu yang aku mau, ibu hanya akan selalu bilang,

“Tidak masalah, nanti ayah akan datang jemput kita berdua.”

Sekali, hingga dua kali, ayah memang benar datang menjemput kami. Bahkan saat hujan deras, saat ayah sendiri mengeluh sedang demam, beliau tetap datang menjemput kami. Meminta maaf kepada nenek yang sebenarnya aku sendiri tidak paham, apakah nenek juga turut andil?

Sampai hari itu, saat ibu kembali berkata bahwa aku dan ia harus menginap di rumah nenek. Aku tidak lagi menunggu jam empat sore hanya untuk melihat ayah akan datang menjemput aku dan ibu. 

Karena meski aku telah berusia sepuluh tahun kala itu, aku sudah paham bahwa ayah sudah berhenti menjemput kami dan segala yang ibu sebut sebagai penderitaan saat bersama ayah, telah berakhir.  

Puluhan nasihat mulai ibu bagikan kepadaku saat usiaku beranjak belasan tahun, saat aku mulai tahu cara mengoleskan lipstick ke bibirku, ibu selalu saja berkata, “Laki-laki hanya akan selalu menyusahkanmu, percayalah.” Tetapi aku hanya diam seolah aku menelan semua nasihat itu dengan percaya.

Namun sebenarnya tidak. Ibu hanya tidak usahaku untuk menghafal nomor telefon milik ayah dan aku akan menelfonnya menggunakan telefon milik temanku saat jam istirahatku di sekolah.

Diam-diam membuat janji temu dengan ayah dan berakhir ayah hanya akan selalu bilang,

“Jangan suka melawan pada ibumu, dia begitu hanya karena terlalu sayang denganmu.”

Ayah hampir tidak pernah membuat ibu salah dimataku. Sudut pandang ayah akan ibu selalu membuatku bertanya, apakah benar seluruh penderitaan yang ibu rasakan saat bersama ayah?

Ibu juga tidak tahu perihal aku yang masih bertanya, mengapa perpisahannya dengan ayah selalu menjadi topik hangat saat aku terpaksa menginap di rumah nenek dan dari itu semua mengapa mereka menyalahkan ayah?

Aku paham beberapa kali memang ayah mengingkari janjinya dan juga melupakan hari-hari penting yang sudah ibu tandai sedemikan menarik di kalender ruang tengah, tempat ayah dan ibu saling melepas cerita biasanya. 

Hanya saja, aku masih tidak paham mengapa ayah yang salah padahal aku jelas tahu bagaimana kemarahan ibu bisa membuatku dan ayah hanya bisa diam.

Ibu dan kemarahannya adalah perpaduan yang tidak bisa aku terima dengan baik meski usiaku sudah ada di pertengahan dua puluhan. Dan berkat itulah, aku bahkan tidak bisa menolak saat ibu bilang,

“Ibu akan memulai semuanya dari awal, nak.” 

Tetapi bu, aku tidak menolak bukan karena aku menerimanya. Percayalah bahwa sepanjang usiaku, hanya ayah yang akan benar-benar aku sebut ayah, dalam hidupku.

–Eka.



x

You May Also Like

1 comments