Tiga tahun;
Aku lupa kapan tepatnya atau sejak usia berapa akhirnya aku menyadari bahwa dalam rentan waktu tiga bulan, akan selalu ada satu hari yang ayah gunakan untuk meledakkan amarahnya secara percuma. Segala omong kosong sengaja ia keluarkan yang akhirnya aku paham kalau itu hanya untuk memenuhi ego marahnya yang mungkin sudah sejak lama ia pendam.
Ayah punya kebiasaan marah yang tidak bisa aku terima sejak aku usia tujuh tahun. Dulu, aku pikir rasa marahnya mengalir deras dalam aliran darahnya. Ini terlalu buruk untuk menggambarkan seorang ayah, tapi ayahku benar-benar pemarah yang tidak bisa aku terima, sampai hari ini.
Dan, ketika ayah marah. Ia akan selalu mengulang ocehan yang sama perihal pernikahannya dengan ibu yang terus saja tidak mendapat perkembangan yang seperti ia inginkan. Lalu, ayah juga akan mengulik segala kesalahan yang tidak bisa aku selesaikan dengan baik sebab aku anak sulung. Terakhir, ayah juga tidak segan berkata betapa ia menyesali menikah dengan ibu. Oh sial, ini memang faktanya.
Mungkin itu sebab kenapa di minggu pagi yang cukup cerah dan beberapa tetangga mulai sibuk olahraga hingga bersantai, aku malah memilih mengemas beberapa novel favoritku dan mengambil tas selempang lalu pergi begitu saja. Bahkan, ketika ibu dengan mata sembabnya berucap menyuruh aku membawa bekal sebagai teman jalan.
Tepukan di pundak membuatku lekas menoleh. Senyum hangat terpatri di wajahku yang mungkin saja sudah menunjukkan tanda penuaan.
“Mikirin apa? Serius sekali”
“Ini sudah tiga tahun sejak kita menikah.”
“Lalu?”
“Kamu, ga ada niat mau marah?”
“Perihal apa?”
“Apa saja yang mungkin sudah lama kamu pendam sendirian.” Ujarku yang mulai merasa kedua mataku memanas.
Pria dengan kaos oblong rumahan berwarna putih dan hanya memakai celana pendek yang sudah usang lantas memeluk diriku begitu saja. Tidak ada pertanyaan yang ia keluarkan. Hanya memeluk dengan hangat, bahkan ketika tangisku pecah.
Kemarahan ayah yang entah sejak kapan aku rekam dengan baik ternyata membawa trauma yang tidak bisa aku selesaikan. Dari dulu, aku tidak pernah benar-benar bisa menyelesaikan sesuatu yang kacau dan aku malah sering membuat segalanya semakin kacau dengan pikiran yang terus saja menyerang isi kepalaku.
Tiga tahun lalu aku melangsungkan pernikahan dengan seseorang yang sudah cukup akrab dalam kilas memoriku. Tidak ada yang begitu berat aku jalani meski aku sudah tiga tahun menjadi teman tidurnya. Aku bahkan mendapat seorang malaikat kecil yang sangat mirip dengannya.
Semuanya berjalan baik. Terlalu baik untuk aku yang menyimpan trauma yang tidak semua orang tahu. Bahkan ibuku sendiri.
Tiga hari lalu, ibu menelfon dan bertanya kabarku. Lekas saja aku menjawab, “Iya, aku baik-baik saja dan aku senang dengan aktivitas baruku meracik beberapa bumbu dapur.” Dan ibu tertawa. Meski aku tidak melihatnya aku sangat tahu bahwa kedua mata ibu memanas mendengar respon ceria dariku.
“Jaga dirimu dengan baik dan patuhi suamimu.” Begitu ucapan terakhir ibu sebelum mengakhiri sesi cerita denganku.
Tangisku belum mereda ketika akhirnya suamiku melepaskan pelukannya dan menatapku dengan tatapan sama seperti kali pertama ia menyatakan perasaannya padaku.
“Kita sudah tiga tahun menikah dan aku masih saja bersyukur kamu mau menerima lamaranku waktu itu. Lalu, kenapa aku harus marah?”
“Maaf, aku hanya berfikir kamu akan seperti ayahku.” Ujarku penuh sesal.
“Kamu ingat, saat pertama kali aku tahu kamu hamil?” ucapnya balas bertanya.
“Ingat, kamu mendiamkan aku berhari-hari tanpa sebab.” Tukasku sinis. Ah, aku ingat momen itu saat aku pikir semua suami akan bahagia ketika tahu istrinya hamil. Suamiku justru malah bersikap dingin dan aku bahkan tidak tahu sebabnya, sampai saat ini.
“Aku bukan tidak senang, aku terlalu senang tapi aku juga takut.” Ucapnya pelan.
“Takut? Kamu takut apa mas?”
“Aku takut ketika kamu jadi ibu, kamu malah serupa dengan ibuku.”
Dan, aku terdiam. Aku bahkan tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk membalas ucapannya.
Iya, aku tahu ibu mertuaku bukanlah jenis ibu yang penuh kasih sayang dan perlakuan hangat. Ibu mertuaku adalah seorang ibu yang sibuk dengan segudang pekerjaannya. Menjadi wanita karir benar-benar beliau geluti secara totalitas.
“Dek, trauma yang kamu simpan soal ayahmu itu ga salah. Toh, aku juga punya kenangan buruk soal ibuku. Semua itu ga salah dan harusnya ga jadi masalah.” Ucap suamiku setelah kita berdua hanya bisa diam.
“Tapi aku ga bisa lupa Mas.”
“Loh, ga ada yang suruh kamu lupa.”
“Jadi?”
“Ikhlas dan bersyukur.” Ucapnya lugas.
Aku hanya diam menatap suamiku. Aku lupa kapan tepatnya, tapi aku ingat alasan mengapa aku begitu yakin menerima lamaran dari pria yang ada di hadapanku saat ini. Aku suka dan kagum dengan segala caranya menyelesaikan masalah.
Punya ayah yang tidak tahu cara menasihati anak perempuan dengan benar membuatku tumbuh menjadi gadis yang selalu kagum dengan laki-laki yang tutur katanya lembut dan perangai yang sabar.
Mungkin itu juga alasan mengapa aku merasa sangat senang dengan pernikahan ini dari tahun ke tahun. Bukan berarti aku dan suamiku tidak pernah berselisih paham ataupun beda pendapat. Kita sama seperti pasangan pada umumnya.
Namun, suamiku tahu cara membuatku benar-benar merasa dihargai dan dihormati. Aku ingat, di beberapa perayaan yang cukup penting bagi kita berdua, suamiku selalu bilang betapa ia bersyukur memiliki aku sebagai istrinya.
Dunia ini memang cukup kejam untuk beberapa masa yang kamu tangkap dan simpan dengan baik dalam kepala. Tapi, tidak masalah. Karena percaya saja bahwa ketika kamu bersyukur akan semua hal pahit itu, Tuhan pasti membalasnya dengan cara yang sangat indah dan hangat.
—tulisaneka.